Blog

  • Gunung Merapi

    Gunung Merapi

    Gunung Merapi (ketinggian puncak 2.930 mdpl, per 2010) (bahasa Jawa: ꦒꦸꦤꦸꦁꦩꦼꦫꦥꦶ, translit. Gunung Měrapi) adalah gunung berapi di bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia. Lereng sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara. Kawasan hutan di sekitar puncaknya menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi sejak tahun 2004.

    Gunung ini memiliki potensi kebencanaan yang tinggi karena menurut catatan modern, Gunung Merapi telah mengalami erupsi setiap dua sampai lima tahun sekali dan dikelilingi oleh permukiman yang padat. Sejak tahun 1548, gunung ini sudah meletus sebanyak 68 kali. Kota Magelang dan Kota Yogyakarta adalah kota besar terdekat, berjarak kurang dari 30 km dari puncaknya. Di lerengnya masih terdapat permukiman sampai ketinggian 1.700 meter dan hanya berjarak empat kilometer dari puncak. Oleh karena tingkat kepentingannya ini, Merapi menjadi salah satu dari enam belas gunung api dunia yang termasuk dalam proyek Gunung Api Dekade Ini (Decade Volcanoes)

    Etimologi

    Nama “Merapi” berasal dari penyingkatan “meru” ( ’gunung’) dan “api”, sehingga nama “merapi” sebenarnya sudah berarti “gunung api”. Dalam naskah lama, Merapi pernah dikenal sebagai Mandrageni

    Geologi

    Gunung ini adalah gunung termuda dalam rangkaian gunung berapi yang mengarah ke selatan dari Gunung Ungaran, Gunung Merbabu, dan Gunung Merapi. Gunung ini terbentuk karena aktivitas di zona subduksi Lempeng Indo-Australia yang bergerak ke bawah Lempeng Eurasia menyebabkan munculnya aktivitas vulkanik di sepanjang bagian tengah Pulau Jawa. Puncak yang sekarang ini tidak ditumbuhi vegetasi karena aktivitas vulkanik yang tinggi. Puncak ini tumbuh di sisi barat daya puncak Batulawang yang lebih tua.

    Sejarah geologi

    Proses pembentukan Gunung Merapi telah dipelajari dan dipublikasi sejak 1989 dan seterusnya.Pascale-Claire Berthommier membagi perkembangan Merapi dalam empat tahap: Pra-Merapi, Merapi Tua atau Merapi Purba, Merapi Pertengahan, dan Merapi Baru (Modern).

    Tahap aktivitas Pra-Merapi diperkirakan berlangsung 700.000 sampai 400.000 tahun yang lalu. Periode ini menyisakan jejak Gunung Bibi (2.025 meter) yang bagiannya masih dapat dilihat di sisi timur puncak Merapi. Gunung Bibi memiliki lava yang bersifat basaltik andesit.

    Tahap Merapi Tua terjadi ketika badan dasar Merapi mulai terbentuk namun belum berbentuk kerucut. Masa ini kira-kira berlangsung 60.000 – 8000 tahun lalu. Sisa-sisa aktivitas tahap ini adalah Bukit Turgo dan Bukit Plawangan di bagian selatan, yang terbentuk dari lava basaltik.

    Tahap aktivitas selanjutnya, Merapi Pertengahan, berlangsung 8.000 – 2.000 tahun lalu. Tahap ini ditandai dengan terbentuknya kerucut-kerucut tinggi, yang sekarang disebut Bukit Gajah Mungkur dan Batulawang, terletak di lereng utara, yang tersusun dari lava andesit. Proses pembentukan pada masa ini ditandai dengan aliran lava, Breksiasi lava, dan awan panas. Aktivitas Merapi telah bersifat erupsi efusif (lelehan) dan eksplosif. Diperkirakan juga terjadi letusan eksplosif dengan runtuhan material ke arah barat yang meninggalkan morfologi tapal kuda dengan panjang 7 km, lebar 1–2 km dengan beberapa bukit di lereng barat. Kawah Pasar Bubrah (di lereng sisi utara) diperkirakan terbentuk pada masa ini. Puncak Merapi yang sekarang, Puncak Anyar (“baru”), mulai terbentuk sekitar 2.000 tahun yang lalu. Dalam perkembangannya, diketahui terjadi beberapa kali letusan eksplosif dengan VEI 4 berdasarkan pengamatan lapisan tefra.

    Periode Merapi Baru (2000 tahun lalu s.d sekarang) adalah yang masih berlangsung. Pada tahap ini terbentuk kerucut puncak Merapi modern (Gunung/Puncak Anyar) di bekas kawah Pasar Bubrah; proses dimulai sekitar 2000 tahun yang lalu. Tahap ini sangat aktif dan berkali-kali mempengaruhi perubahan peradaban penduduk yang tinggal di sekitarnya. Karakteristik letusan sejak 1953 adalah desakan lava ke puncak kawah disertai dengan keruntuhan kubah lava secara periodik dan pelepasan awan panas (nuée ardente) yang biasanya meluncur di lereng gunung tetapi dapat pula menyembur vertikal ke atas. Letusan tipe Merapi ini secara umum tidak mengeluarkan suara ledakan tetapi desisan. Kubah puncak yang ada sampai 2010 adalah hasil proses yang berlangsung sejak letusan gas 1969. Kubah ini runtuh pada letusan 2010, menimbulkan bukaan ke arah tenggara (lembah Kali Gendol dan Kali Woro).

    Pakar geologi pada tahun 2006 mendeteksi adanya ruang raksasa di bawah Merapi berisi material seperti lumpur yang “secara signifikan menghambat gelombang getaran gempa bumi”. Para ilmuwan memperkirakan material itu adalah magma.Kantung magma ini merupakan bagian dari formasi yang terbentuk akibat menunjamnya Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia

     

    Hidrologi DAS

    Puncak Merapi menjadi titik batas semu tiga daerah aliran sungai (DAS) diantaranya, DAS Bengawan Solo di sebelah timur, DAS Opak di sebelah selatan dan DAS Progo di sebelah barat lereng gunung tersebut, juga merupakan titik hulu terjauh bagi sub DAS Opak. DAS Bengawan Solo dan DAS Progo adalah yang terluas cakupannya (Daerah Tangkapan Air) pada komplek gunung ini. DAS Bengawan Solo mengalirkan alirannya dan bermuara ke pesisir utara pulau Jawa, sedangkan DAS Progo dan DAS Opak keduanya sama-sama mengalirkan alirannya dan bermuara ke pesisir selatan pulau Jawa.

    Gunung Merapi memiliki banyak sumber air sebagai akibat desakan uap air dari dalam bumi. Terdapat banyak aliran yang kemudian membentuk ngarai di bagian lereng dan kemudian membentuk dataran sedimen material vulkanik. Sungai-sungai ini terutama mengarah ke arah tenggara (Klaten), selatan (Yogyakarta) serta barat (Magelang), memasok air untuk daerah disekitarnya.

    Sungai-sungai yang membentuk ngarai sebagai jalur pergerakan material piroklastik dan lahar; beberapa yang cukup besar dan penting adalah Kali Woro (arah tenggara, Kabupaten Klaten), Kali Gèndhol (arah selatan-tenggara, dekat perbatasan Sleman-Klaten), Kali Bebeng (selatan, Sleman, lalu bergabung dengan Kali Gèndhol), Kali Kuning (selatan, Sleman), Kali Boyong (selatan, Sleman), Kali Krasak (barat daya, Magelang), Kali Putih (barat, Magelang), dan Kali Pabelan (barat, Magelang). Terhadap sungai-sungai ini telah dibangun sistem penahan lahar berupa sabo.

    Selain sungai, terdapat pula sumber-sumber air (umbul) yang menjadi tempat pemandian dan sumber pengairan persawahan.

    Catatan erupsi

    Sejak tahun 1768, sudah tercatat lebih dari 80 kali letusan terjadi di gunung ini. Di antara letusan tersebut, merupakan letusan besar (VEI ≥ 3) yaitu periode abad ke-19 (letusan tahun 1768, 1822, 1849, 1872) dan periode abad ke-20 yaitu 1930-1931. Erupsi abad ke-19 intensitas letusannya relatif lebih besar, sedangkan letusan abad ke-20 frekuensinya lebih sering. Kemungkinan letusan besar terjadi sekali dalam 100 tahun.Erupsi abad ke-19 jauh lebih besar dari letusan abad ke-20, di mana awan panas mencapai 20 kilometer dari puncak. Aktivitas Merapi pada abad ke-20 terjadi minimal 28 kali letusan, di mana letusan terbesar terjadi pada tahun 1931. Sudah tiga perempat abad tidak terjadi letusan besar.

    Letusan besar bisa bersifat eksplosif dan jangkauan awan panas mencapai 15 kilometer. Letusan gunung ini sejak 1872-1931 mengarah ke barat-barat laut. Namun, sejak letusan besar 1930-1931, arah letusan dominan ke barat daya sampai dengan letusan 2001. Kecuali pada letusan 1994, terjadi penyimpangan ke arah selatan yaitu ke hulu Kali Boyong, terletak antara bukit Turgo dan Plawangan. Erupsi terakhir pada 2006, terjadi perubahan arah dari barat daya ke arah tenggara, dengan membentuk bukaan kawah yang mengarah ke Kali Gendol.

    Letusan-letusan kecil terjadi tiap 2-3 tahun, dan yang lebih besar sekitar 10-15 tahun sekali. Letusan-letusan Merapi yang dampaknya besar tercatat pada tahun 1006 (dugaan), 1786, 1822, 1872, dan 1930. Letusan pada tahun 1006 membuat seluruh bagian tengah Pulau Jawa diselubungi abu, berdasarkan pengamatan timbunan debu vulkanik. Ahli geologi Belanda, Rein van Bemmelen, berteori bahwa letusan tersebutlah yang menyebabkan pusat Kerajaan Medang (Mataram Kuno) harus berpindah ke Jawa Timur. Letusan pada tahun 1872 dianggap sebagai letusan terkuat dalam catatan era modern geologi dengan skala VEI mencapai 3 sampai 4. Letusan besar 2010 diperkirakan juga memiliki kekuatan yang mendekati atau sama. Letusan tahun 1930, yang menghancurkan tiga belas desa dan menewaskan 1400 orang, merupakan letusan dengan catatan korban terbesar hingga sekarang

    Letusan pada tanggal 22 November 1994 menyebabkan beberapa desa di lereng gunung terkena awan sehingga memakan korban sebanyak 60 jiwa manusia.

    Pada 19 Juli 1998 terjadi letusan cukup besar namun material vulkanik yang dikeluarkan mengarah ke atas sehingga tidak memakan korban jiwa.

    Pada tahun 2001 sampai 2003, tercatat aktivitas tinggi yang berlangsung terus-menerus tanpa disertai erupsi ledakan tetapi membentuk kubah lava.

    Gunung Merapi kembali beraktivitas tinggi pada tahun 2006 dengan terus-menerus meluncurkan awan panas yang memaksa warga yang bertempat tinggal di lereng Merapi mengungsi. Aktivitas ini sempat menelan dua nyawa sukarelawan di kawasan Kaliadem dekat kediaman juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan. Mereka terkena terjangan awan panas meskipun keduanya sempat berlindung di dalam bunker bawah tanah.

    Semua catatan ini membentuk apa yang disebut sebagai letusan “tipe Merapi”, yaitu aktivitas tinggi yang cukup lama disertai dengan luncuran aliran piroklastik atau wedhus gèmbèl — istilah bahasa Jawa yang berarti “domba yang berbulu lebat” — berulang-ulang yang biasanya meluncur ke lereng gunung dengan kecepatan dan tenaga tinggi, sehingga membahayakan warga di lereng gunung tersebut.

    Rangkaian letusan pada bulan Oktober dan November 2010 dievaluasi sebagai yang terbesar sejak letusan 1872. dan memakan korban nyawa 273 orang (per 17 November 2010), meskipun telah dijalankan pengamatan yang intensif, mitigasi, serta manajemen pengungsian yang cukup tertata. Letusan 2010 juga teramati sebagai penyimpangan dari letusan “tipe Merapi” karena bersifat eksplosif disertai suara ledakan dan gemuruh yang terdengar hingga jarak 20–30 km.

    Karena potensi bahayanya, gunung ini di monitor tanpa jeda oleh Pusat Pengamatan Gunung Merapi (di bawah Badan Geologi, PVMBG) di Kota Yogyakarta melalui lima (hingga 2019) pos pengamatan visual (dengan CCTV) dan pencatat kegempaan (Pengamatan Gunungapi Merapi, PGM). Pos-pos ini juga memonitor data dari berbagai instrumen geofisika telemetri yang sensornya ditempatkan di sekitar gunung dan titik-titik jauh sebagai pembanding aktivitas vulkanik dengan tektonik.

    Lima pos PGM yang berfungsi adalah

    • Kaliurang (sisi selatan; Padukuhan Kaliurang Timur, Kelurahan Hargobinangun, Kapanéwon Pakem, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, alt. +858 m; menggantikan Pos Plawangan yang ditutup sejak 2006)
    • Ngepos (sisi barat daya; Dusun Ngepos, Desa Ngablak, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah +603,4 m)
    • Babadan (sisi barat laut; Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah)
    • Jrakah (sisi utara–barat laut; Desa Jrakah, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah)
    • Selo (sisi utara; Desa Selo, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah)

    Selain lima pos tersebut, terdapat pos pemantauan di Desa Balerante, Kemalang, Klaten (dusun Gondang, sisi tenggara) yang didirikan oleh BPBD Jawa Tengah.

    Sebanyak 30 stasiun seismik telemetri dan 35 kamera/CCTV pemantau (dua di antaranya kamera termal) telah dipasang BPPTKG Yogyakarta untuk memonitor aktivitas vulkanik Merapi.Stasiun seismik terdekat berada di Pasar Bubrah dan yang terjauh di Imogiri. Delapan titik stasiun seismik terdekat dari puncak gunung berada di Juranggrawah (GRA), Klatakan (KLS), Pasar Bubrah (PAS), Pusunglondon (PUS), Labuhan (LAB), Jurang Jero (JRO), Deles (DEL), dan Plawangan (PLA). Seismometer telemetri untuk aktivitas tektonik ditempatkan di Imogiri (IMO), Pacitan (PCJI), Wanagama (UGM), Bungbulang (BBJI), dan Jajag (JAGI). Aktivitas tinggi di titik pengukur vulkanik jika tidak disertai aktivitas tinggi di titik pengukur tektonik menandakan adanya aktivitas kegempaan vulkanik oleh Merapi. BPPTKG juga menggunakan dron kamera dan pemanfaatan citra satelit untuk melakukan fotogrametri, menggunakan teknologi Interferometric Synthetic-Aperture Radar (InSAR) dan Electronic-Distance Measurement (EDM).

    Sisi timur gunung ini tidak diamati karena dianggap relatif aman akibat adanya pegunungan Puncak Bibi yang terbentuk pada era pra-Merapi.

    Erupsi 2006

    Di bulan April dan Mei 2006, mulai muncul tanda-tanda bahwa Merapi akan meletus kembali, ditandai dengan gempa-gempa dan deformasi. Pemerintah daerah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta sudah mempersiapkan upaya-upaya evakuasi. Instruksi juga sudah dikeluarkan oleh kedua pemda tersebut agar penduduk yang tinggal di dekat Merapi segera mengungsi ke tempat-tempat yang telah disediakan.

    Pada tanggal 15 Mei 2006 akhirnya Merapi meletus. Lalu pada 4 Juni, dilaporkan bahwa aktivitas Gunung Merapi telah melampaui status awas. Kepala BPPTK Daerah Istimewa Yogyakarta, Ratdomo Purbo menjelaskan bahwa sekitar 2-4 Juni volume lava di kawah Merapi sudah mencapai 4 juta meter kubik – artinya lava telah memenuhi seluruh kapasitas kubah Merapi sehingga tambahan semburan lava terbaru akan langsung keluar dari kawah Merapi.

    Tanggal 1 Juni, Hujan abu vulkanik dari luncuran awan panas Gunung Merapi yang lebat, tiga hari belakangan ini terjadi di Kota Magelang dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Muntilan sekitar 14 kilometer dari Puncak Merapi, paling merasakan hujan abu ini.

    Tanggal 8 Juni, Gunung Merapi pada pukul 09.03 WIB meletus dengan semburan awan panas yang membuat ribuan warga di wilayah lereng Gunung Merapi panik dan berusaha melarikan diri ke tempat aman. Tercatat terjadi dua letusan, letusan kedua terjadi sekitar pukul 09.40 WIB. Semburan awan panas sejauh 5 km lebih mengarah ke hulu Kali Gendol (lereng selatan) dan menghanguskan sebagian kawasan hutan di utara Kaliadem di wilayah Kabupaten Sleman.

    Letusan Merapi pada tahun 2006 ini menelan setidaknya 2 orang korban jiwa

    Erupsi 2010

    Peningkatan status dari “normal aktif” menjadi “waspada” pada tanggal 20 September 2010 direkomendasi oleh Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta. Setelah sekitar satu bulan, pada tanggal 21 Oktober status berubah menjadi “siaga” sejak pukul 18.00 WIB. Pada tingkat ini kegiatan pengungsian sudah harus dipersiapkan. Karena aktivitas yang semakin meningkat, ditunjukkan dengan tingginya frekuensi gempa multifase dan gempa vulkanik, sejak pukul 06.00 WIB tanggal 25 Oktober BPPTK Yogyakarta merekomendasi peningkatan status Gunung Merapi menjadi “awas” dan semua penghuni wilayah dalam radius 10 km dari puncak harus dievakuasi dan diungsikan ke wilayah aman.

    Erupsi pertama terjadi sekitar pukul 17.02 WIB tanggal 26 Oktober. Sedikitnya terjadi hingga tiga kali letusan. Letusan menyemburkan material vulkanik setinggi kurang lebih 1,5 km dan disertai keluarnya awan panas yang menerjang Kaliadem, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman.dan menelan korban 43 orang, ditambah seorang bayi dari Magelang yang tewas karena gangguan pernapasan.

    Sejak saat itu mulai terjadi muntahan awan panas secara tidak teratur. Mulai 28 Oktober, Gunung Merapi memuntahkan lava pijar yang muncul hampir bersamaan dengan keluarnya awan panas pada pukul 19.54 WIB. Selanjutnya mulai teramati titik api diam di puncak pada tanggal 1 November, menandai fase baru bahwa magma telah mencapai lubang kawah.

    Namun, berbeda dari karakter Merapi biasanya, bukannya terjadi pembentukan kubah lava baru, malah yang terjadi adalah peningkatan aktivitas semburan lava dan awan panas sejak 3 November. Erupsi eksplosif berupa letusan besar diawali pada pagi hari Kamis, 4 November 2010, menghasilkan kolom awan setinggi 4 km dan semburan awan panas ke berbagai arah di kaki Merapi. Selanjutnya, sejak sekitar pukul tiga siang terjadi letusan yang tidak henti-hentinya hingga malam hari dan mencapai puncaknya pada dini hari Jumat 5 November 2010. Menjelang tengah malam, radius bahaya untuk semua tempat diperbesar menjadi 20 km dari puncak. Rangkaian letusan ini serta suara gemuruh terdengar hingga Kota Yogyakarta (jarak sekitar 27 km dari puncak), Kota Magelang, dan pusat Kabupaten Wonosobo (jarak 50 km). Hujan kerikil dan pasir mencapai Kota Yogyakarta bagian utara, sedangkan hujan abu vulkanik pekat melanda hingga Purwokerto dan Cilacap. Pada siang harinya, debu vulkanik diketahui telah mencapai Tasikmalaya, Bandung,dan Bogor.

    Bahaya sekunder berupa aliran lahar dingin juga mengancam kawasan lebih rendah setelah pada tanggal 4 November terjadi hujan deras di sekitar puncak Merapi. Pada tanggal 5 November Kali Code di kawasan Kota Yogyakarta dinyatakan berstatus “awas” (red alert).

    Letusan kuat 5 November diikuti oleh aktivitas tinggi selama sekitar seminggu, sebelum kemudian terjadi sedikit penurunan aktivitas, namun status keamanan tetap “Awas”. Pada tanggal 15 November 2010 batas radius bahaya untuk Kabupaten Magelang dikurangi menjadi 15 km dan untuk dua kabupaten Jawa Tengah lainnya menjadi 10 km. Hanya bagi Kab. Sleman yang masih tetap diberlakukan radius bahaya 20 km.

    Aktivitas 2018-2021

    Peningkatan aktivitas vulkanik kembali ditunjukan gunung ini sejak Jumat, 11 Mei 2018, pukul 07.30 WIB. Meski berstatus normal, Gunung Merapi mengeluarkan suara gemuruh disertai asap membumbung tinggi. Letusan tipe freatik (hembusan) ini memunculkan asap setinggi hingga 5.500 meter vertikal. Erupsi ini disaksikan dalam jarak dekat oleh pendaki yang masih berada di areal Pasar Bubrah dan terdokumentasi dalam video di media sosial. Tak ada laporan pendaki yang meninggal dunia. Kawasan Pasar Bubrah adalah tempat para pendaki Merapi biasa menginap dan memasang tenda sebelum mendaki ke puncak. Hujan abu tipis jatuh di wilayah lereng barat.

    Sejak peristiwa itu, PPGM mulai memantau aktivitas Merapi yang terus meningkat, sehingga pada tanggal 21 Mei 2018, pukul 23.00 WIB status Merapi dinaikkan dari normal aktif menjadi waspada. Status ini tidak pernah diturunkan setelahnya, yang berakibat ditutupnya akses pendakian ke Gunung Merapi.

    Kamis, 24 Mei 2018, gunung Merapi kembali erupsi dengan menyemburkan asap setinggi 6.000 meter. Hujan abu mengguyur wilayah barat gunung yaitu Kabupaten Magelang bahkan sampai ke Kabupaten Kebumen yang berjarak lebih dari 40 kilometer. Gunung Merapi kembali erupsi pada Jumat, 1 Juni 2018 pada pukul 08.20 WIB dengan durasi 2 menit. Menurut BPPTKG, kolom letusan gunung Merapi sekitar 6.000 meter dari puncak, atau sekitar 8.968 meter di atas permukaan laut arah barat laut dan teramati dari Pos Pengamatan Jrakah. Letusan tersebut menyebabkan hujan abu di Pos Pengamatan Gunung Merapi Jrakah dan Selo. Bahkan laporan hujan abu hingga ke Salatiga dan Kabupaten Semarang. Masyarakat diimbau tetap tenang dan waspada atas hujan abu dan selalu mengenakan alat pelindung diri (APD), seperti kacamata, jaket, dan masker saat berada di luar rumah.

    Setelah relatif stabil pada tahun 2019, pada hari Sabtu, 28 Maret 2020, pukul 19.25 WIB, gunung Merapi meletus.Pada erupsi ini, karakter letusan mulai bercampur dengan letusan eksplosif (disertai ledakan dan lontaran material besar). Pada hari Minggu, 29 Maret 2020, pukul 00.15 WIB, gunung Merapi meletus dengan tinggi kolom erupsi terukur 1500 meter di atas puncak atau 4.468 meter di atas permukaan laut. Erupsi terekam di seismogram dengan amplitudo maksimum 40 mm berdurasi kurang lebih 2 menit 30 detik.

    Pada 10 April 2020, pukul 09.10 WIB, gunung Merapi meletus dengan tinggi kolom erupsi terukur 3000 meter dari atas kawah puncak gunung. Erupsi tercatat di seismograf dengan amplitudo 75 mm dan durasi 103 detik. Arah angin saat erupsi ke Barat Laut.

    Pada 21 Juni 2020, pukul 09.13 WIB, gunung Merapi kembali meletus dengan tinggi kolom erupsi 6000 meter dari atas kawah puncak gunung. Erupsi tercatat di seismograf dengan amplitudo 75 mm dan durasi 328 detik. Saat erupsi pertama terjadi, BPPTKG memonitor arah angin menuju barat. Pada erupsi kedua, amplitudo termonitor 75 mm dan durasi 100 detik. Tinggi kolom saat erupsi kedua ini tidak teramati. Pusat Pengendali Operasi BNPB mendapatkan laporan dari BPBD setempat mengenai sebaran abu. Sebaran hujan abu vulkanik erupsi Gunung Merapi yang terpantau pada 09.56 terjadi di wilayah beberapa desa pada dua Kecamatan Srumbung (Desa Kaliurang, Kemiren, Srumbung, Banyuadem, Kalibening dan Ngargosoko) dan Kecamatan Dukun (Desa Ngargomulyo dan Keningar).

    Pada hari Kamis, 5 November 2020, pukul 12.00 WIB, BPPTKG meningkatkan status gunung Merapi dari Waspada (Level II) menjadi Siaga (Level III) karena aktivitas vulkanik di Gunung Merapi diduga dapat berlanjut ke erupsi yang membahayakan masyarakat. Ini didasarkan pada kronologi data hasil pemantauan aktivitas vulkanik, yaitu pertama setelah letusan eksplosif 21 Juni 2020, kegempaan internal yaitu VA, vulkanik dangkal (VB) dan fase banyak (MP) mulai meningkat. Sejak bulan Oktober 2020 kegempaan meningkat semakin intensif. Pada 4 November 2020 rata-rata gempa VB 29 kali/hari, MP 272 kali/hari, guguran (RF) 57 kali/hari, hembusan (DG) 64 kali/hari.Meskipun demikian, tidak terlihat indikasi pembentukan kubah lava yang baru. Gempa dan deformasi masih meningkat dan BPPTKG memperingatkan bahaya luncuran awan panas sejauh 5 kilometer dari puncak gunung.

    Pada Laporan Aktivitas Gunung Merapi Periode Bulan November 2020 yang diterbitkan oleh BPPTKG pada 30 November 2020, mendapat kesimpulan bahwa terdapat peningkatan aktivitas vulkanik G. Merapi berupa aktivitas kegempaan internal yang mencapai 400 kali/hari, laju deformasi mencapai 11 cm/hari, konsentrasi gas CO2 pada 21 November-30 November meningkat dengan nilai maksimal 675 ppm setelah sebelumnya pada awal bulan november hingga tanggal 20 November cukup konstan berada pada 525 ppm, serta perubahan morfologi puncak akibat intensifnya aktivitas guguran. Data pemantauan ini menunjukkan proses desakan magma menuju permukaan

    Memasuki tahun 2021, aktivitas vulkanik semakin meningkat. Setelah semakin sering teramati runtuhan batuan lava sisa letusan terdahulu semakin tebalnya asap/uap putih dari puncak, pada hari Senin malam tanggal 4 Januari 2021 mulai teramati adanya titik api dan guguran material vulkanik (batu dan lava) yang berlanjut pada hari berikutnya. Pihak BPPTKG menyatakan bahwa fase erupsi telah dimulai.Sejak itu leleran material awan panas dan runtuhan batuan semakin sering teramati dengan jarak yang semakin jauh. Pada tanggal 7 Januari 2021, Gunung Merapi mengeluarkan guguran awan panas (aliran piroklastik) dan memunculkan kolom asap setinggi 200 meter dari puncak. Guguran awan panas tersebut terjadi pada pukul 8:02 WIB menimbulkan gempa vulkanik dengan amplitudo maksimum 28 mm dan berdurasi 154 detik, dan pada pukul 12:50 WIB dengan amplitudo maksimum 21 mm dan berdurasi 139 detik. Arah pergerakan material ke barat daya (hulu Kali Kuning sampai hulu Kali Krasak).

    Aktivitas 2023

    Sabtu tanggal 11 Maret 2023 pukul 12.12 WIB terjadi rentetan awan panas guguran di Gunung Merapi bersumber dari longsoran kubah lava barat daya. Hingga pukul 15.00 WIB siang ini, tercatat 21 kali awan panas guguran dengan jarak luncur maksimal kurang lebih 4 km ke arah barat daya yaitu di alur Kali Bebeng dan Krasak. Pada saat kejadian, angin di sekitar Gunung Merapi bertiup ke arah barat laut-utara. Awan panas guguran ini menyebabkan hujan abu ke beberapa tempat terutama di sisi barat laut-utara Gunung Merapi dan mencapai Kota Magelang.

    Aktivitas erupsi saat ini terhitung masih tinggi; pada minggu ini guguran lava teramati sebanyak 19 kali ke arah barat daya (hulu Kali Boyong, Kali Bebeng dan Kalisat/Putih) dengan jarak luncur maksimal 1.200 m. Suara guguran terdengar dari Pos Kaliurang dan Pos Babadan sebanyak 6 kali dengan intensitas kecil hingga sedang. Aktivitas vulkanik internal juga masih tinggi ditunjukkan oleh data seismisitas dan deformasi. Seismisitas internal seperti gempa vulkanik dalam (VTA) terjadi sebanyak 77 kejadian/hari, gempa vulkanik dangkal (VTB) 1 kejadian/hari, gempa Multifase (MP) 6 kejadian/hari, dan gempa guguran sebanyak 44 kejadian/hari. Sedangkan laju deformasi EDM RB1 sebesar 0.5 cm/hari.

    Vegetasi

    Gunung Merapi di bagian puncak tidak pernah ditumbuhi vegetasi karena aktivitas yang tinggi. Jenis tumbuhan di bagian teratas bertipe alpina khas pegunungan Jawa, seperti Rhododendron dan edelweis jawa. Agak ke bawah terdapat hutan bambu dan tumbuhan pegunungan tropika. Hutan hujan tropis pegunungan di lereng selatan Merapi merupakan tempat salah satu format anggrek endemik Vanda tricolor ‘Merapi’ yang langka

    Lereng Merapi sisi barat daya, khususnya di bawah 1.000 m, merupakan tempat asal dua kultivar salak unggul nasional, yaitu salak ‘Pondoh’ dan ‘Nglumut’.

    Juru kunci

    Karena Gunung Merapi sangat disakralkan, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki seorang juru kunci yang bertugas menjaga gunung dan melindungi masyarakat yang tinggal di bawahnya. Seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta ditunjuk langsung oleh Sultan untuk mengisi jabatan tersebut. Juru kunci Merapi saat ini adalah Mas Bekel Anom Suraksosihono, atau Mas Asih menggantikan ayahnya Mbah Maridjan yang meninggal dalam erupsi gunung Merapi pada tahun 2010.

    Rute pendakian

    Gunung Merapi merupakan objek pendakian yang populer. karena gunung ini merupakan gunung yang sangat mempesona. Jalur pendakian yang paling umum dan dekat adalah melalui sisi utara dari Sélo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, tepatnya di Desa Plalangan, Selo, Boyolali, Desa ini terletak di antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Pendakian melalui Selo memakan waktu sekitar 4-5 jam hingga ke puncak.

    Jalur populer lain adalah melalui Kaliurang, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta di sisi selatan. Jalur ini lebih terjal dan memakan waktu sekitar 6-7 jam hingga ke puncak. Jalur alternatif yang lain adalah melalui sisi barat laut, dimulai dari Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dan melalui sisi tenggara, dari arah Deles, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah

    TEMPAT BERMAIN SLOT YANG ASIK : MAHKOTA69

  • Gunung Merapi Yang Maha dahsyat “Krakatau”

    Gunung Merapi Yang Maha dahsyat “Krakatau”

    Krakatau (atau dengan nama internasional Krakatoa ataupun Rakata) adalah kepulauan vulkanik yang masih aktif dan berada di Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, tepatnya di perairan Selat Sunda, antara Pulau Jawa dan Sumatra. Nama ini juga disematkan pada satu puncak gunung berapi di sana (Gunung Krakatau). Gunung Krakatau Purba pernah meletus hebat tahun 535 M yang menyebabkan terbentuknya Selat Sunda, hilangnya peradaban Pasemah Lampung dan Salakanagara Banten selama sekitar 20-30 tahun. Ledakan Gunung Krakatau menyebabkan tsunami, langit gelap, dan cuaca dingin.Pada tahun 1680, pernah terjadi letusan juga.Peristiwa itu pun masih berlanjut terulang kembali yang menyebabkan Krakatau sirna karena letusan kataklismik pada tanggal 26-27 Agustus 1883. Pada tahun 2019, kawasan yang sekarang merupakan cagar alam ini memiliki empat pulau kecil: Pulau Rakata, Pulau Anak Krakatau, Pulau Sertung, dan Pulau Panjang (Rakata Kecil). Berdasarkan kajian geologi, semua pulau ini berasal dari sistem gunung berapi tunggal Krakatau yang pernah ada di masa lalu.

    Krakatau dikenal dunia karena letusan yang sangat dahsyat pada tahun 1883. Awan panas dan tsunami yang diakibatkannya menewaskan sekitar 36.000 jiwa. Sampai sebelum tanggal 26 Desember 2004, tsunami ini adalah yang terdahsyat di kawasan Samudra Hindia. Suara letusan itu terdengar sampai ke Alice Springs, Australia dan Pulau Rodrigues dekat Afrika, 4.653 kilometer. Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki di akhir Perang Dunia II.

    Letusan Krakatau menyebabkan perubahan iklim global. Dunia sempat gelap selama dua setengah hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer. Matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya. Hamburan debu tampak di langit Norwegia hingga New York.

    Ledakan Krakatau ini sebenarnya masih kalah dibandingkan dengan letusan Gunung Samalas, Gunung Tambora, dan Gunung Toba di Indonesia, Gunung berapi Taupo di Selandia Baru dan Gunung Katmal di Alaska. Namun, gunung-gunung tersebut meletus jauh pada masa ketika populasi manusia masih sangat sedikit. Sementara itu, ketika Gunung Krakatau meletus, populasi manusia sudah cukup padat, sains dan teknologi telah berkembang, telegraf sudah ditemukan, dan kabel bawah laut sudah dipasang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa saat itu teknologi informasi sedang tumbuh dan berkembang pesat.

    Tercatat bahwa letusan Gunung Krakatau adalah bencana besar pertama di dunia setelah penemuan telegraf bawah laut. Kemajuan tersebut sayangnya belum diimbangi dengan kemajuan di bidang geologi. Para ahli geologi saat itu bahkan belum mampu memberikan penjelasan mengenai letusan tersebut. Getaran akibat letusan Gunung Krakatau terasa sampai ke Eropa.

    Perkembangan Gunung Krakatau

    Gunung Krakatau Purba

    Melihat kawasan Gunung Krakatau di Selat Sunda, para ahli memperkirakan bahwa pada masa purba terdapat gunung yang sangat besar di Selat Sunda yang akhirnya meletus dahsyat yang menyisakan sebuah kaldera (kawah besar) yang disebut Gunung Krakatau Purba, yang merupakan induk dari Gunung Krakatau yang meletus pada 1883. Gunung ini disusun dari bebatuan andesitik.

    Pakar geologi Berend George Escher dan beberapa ahli lainnya berpendapat bahwa kejadian alam yang diceritakan berasal dari Gunung Krakatau Purba, yang dalam teks disebut Gunung Batuwara.

    Akibat ledakan yang hebat itu, tiga per empat tubuh Purba hancur menyisakan kaldera (kawah besar) di Selat Sunda. Sisi-sisi atau tepi kawahnya dikenal sebagai Pulau Rakata, Pulau Panjang (Rakata Kecil) dan Pulau Sertung. Letusan gunung ini disinyalir bertanggung jawab atas terjadinya tahun kegelapan di muka bumi. Wabah sampar terjadi karena suhu bumi menurun. Sampar ini secara signifikan mengurangi jumlah penduduk di muka bumi.

    Letusan ini juga dianggap turut andil atas berakhirnya masa kejayaan Persia purba, transmutasi Kerajaan Romawi ke Kerajaan Byzantium, berakhirnya peradaban Arab Selatan, punahnya kota besar Maya, Tikal dan jatuhnya peradaban Nazca di Amerika Selatan yang penuh teka-teki. Ledakan Purba diperkirakan berlangsung selama 10 hari dengan perkiraan kecepatan muntahan massa mencapai 1 juta ton per detik. Ledakan tersebut telah membentuk perisai atmosfer setebal 20-150 meter, menurunkan temperatur sebesar 5-10 derajat selama 10-30 Tahun. 

    Munculnya Gunung Krakatau

    Pulau Rakata, yang merupakan satu dari tiga pulau sisa Gunung Krakatau Purba kemudian tumbuh sesuai dengan dorongan vulkanik dari dalam perut bumi yang dikenal sebagai Gunung Krakatau (atau Gunung Rakata) yang terbuat dari batuan basaltik. Kemudian, dua gunung api muncul dari tengah kawah, bernama Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan yang kemudian menyatu dengan Gunung Rakata yang muncul terlebih dahulu. Persatuan ketiga gunung api inilah yang disebut Gunung .

    Gunung Krakatau pernah meletus pada tahun 1680 menghasilkan lava andesitik asam. Lalu pada tahun 1880, Gunung Perbuwatan aktif mengeluarkan lava meskipun tidak meletus. Setelah masa itu, tidak ada lagi aktivitas vulkanis di Krakatau hingga 20 Mei 1883. Pada hari itu, setelah 200 tahun tertidur, terjadi ledakan kecil pada Gunung . Itulah tanda-tanda awal bakal terjadinya letusan dahsyat di Selat Sunda. Ledakan kecil ini kemudian disusul dengan letusan-letusan kecil yang puncaknya terjadi pada 26-27 Agustus 1883.

    Erupsi 1883

    Pada hari Senin, 27 Agustus 1883, tepat jam 10.20, terjadi ledakan pada gunung tersebut. Menurut Simon Winchester, ahli geologi lulusan Universitas Oxford Inggris yang juga penulis National Geographic, mengatakan bahwa ledakan itu adalah yang paling besar, suara paling keras dan peristiwa vulkanik yang paling meluluhlantakkan dalam sejarah manusia modern. Suara letusannya terdengar sampai 4.600 km dari pusat letusan dan bahkan dapat didengar oleh 1/8 penduduk bumi saat itu. Sebelum erupsi, terjadi sejumlah gejala alam yang tak biasa. Perilaku hewan berubah. Kuda-kuda mengamuk, ayam tidak bertelur, kera dan burung tak nampak lagi di pepohonan.

    Menurut para peneliti di University of North Dakota, ledakan Krakatau bersama ledakan Tambora (1815) mencatatkan nilai Volcanic Explosivity Index (VEI) terbesar dalam sejarah modern. The Guinness Book of Records mencatat ledakan Krakatau sebagai ledakan yang paling hebat yang terekam dalam sejarah.

    Ledakan Krakatau telah melemparkan batu-batu apung dan abu vulkanik dengan volume 18 kilometer kubik. Semburan debu vulkanisnya mencapai 80 km. Benda-benda keras yang berhamburan ke udara itu jatuh di dataran pulau Jawa dan Sumatra bahkan sampai ke Sri Lanka, India, Pakistan, Australia dan Selandia Baru.

    Letusan itu menghancurkan Gunung Danan, Gunung Perbuwatan serta sebagian Gunung Rakata di mana setengah kerucutnya hilang, membuat cekungan selebar 7 km dan sedalam 250 meter. Tsunami (gelombang laut) naik setinggi 40 meter menghancurkan desa-desa dan apa saja yang berada di pesisir pantai. Tsunami ini timbul bukan hanya karena letusan tetapi juga longsoran bawah laut.

    Tercatat jumlah korban yang tewas mencapai 36.417 orang berasal dari 295 kampung kawasan pantai mulai dari Merak di Kota Cilegon hingga Cilamaya di Karawang, pantai barat Banten hingga Tanjung Layar di Pulau Panaitan (Ujung Kulon serta Sumatra Bagian selatan). Di Ujungkulon, air bah masuk sampai 15 km ke arah barat. Keesokan harinya sampai beberapa hari kemudian, penduduk Jakarta dan Lampung pedalaman tidak lagi melihat matahari. Gelombang Tsunami yang ditimbulkan bahkan merambat hingga ke pantai Hawaii, pantai barat Amerika Tengah dan Semenanjung Arab yang jauhnya 7 ribu kilometer.

    Anak Krakatau

    Mulai pada tahun 1927 atau kurang lebih 44 tahun setelah meletusnya Gunung , muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau dari kawasan kaldera purba tersebut yang masih aktif dan tetap bertambah tingginya. Kecepatan pertumbuhan tingginya sekitar 0.5 meter (20 inci) per bulan. Setiap tahun ia menjadi lebih tinggi sekitar 6 meter (20 kaki) dan lebih lebar 12 meter (40 kaki). Catatan lain menyebutkan penambahan tinggi sekitar 4 cm per tahun dan jika dihitung, maka dalam waktu 25 tahun penambahan tinggi anak Rakata mencapai 190 meter (7.500 inci atau 500 kaki) lebih tinggi dari 25 tahun sebelumnya. Penyebab tingginya gunung itu disebabkan oleh material yang keluar dari perut gunung baru itu. Saat ini ketinggian Anak Krakatau mencapai sekitar 230 meter di atas permukaan laut, sementara Gunung Krakatau sebelumnya memiliki tinggi 813 meter dari permukaan laut.

    Menurut Simon Winchester, sekalipun apa yang terjadi dalam kehidupan Krakatau yang dulu sangat menakutkan, realita-realita geologi, seismik serta tektonik di Jawa dan Sumatra yang aneh akan memastikan bahwa apa yang dulu terjadi pada suatu ketika akan terjadi kembali. Tak ada yang tahu pasti kapan Anak Krakatau akan meletus. Beberapa ahli geologi memprediksi letusan ini akan terjadi antara 2015-2083. Namun pengaruh dari gempa di dasar Samudera Hindia pada 26 Desember 2004 juga tidak bisa diabaikan.

    Anak Krakatau, Februari 2008

    Menurut Profesor Ueda Nakayama salah seorang ahli gunung api berkebangsaan Jepang, Anak Krakatau masih relatif aman meski aktif dan sering ada letusan kecil, hanya ada saat-saat tertentu para turis dilarang mendekati kawasan ini karena bahaya lava pijar yang dimuntahkan gunung api ini. Para pakar lain menyatakan tidak ada teori yang masuk akal tentang Anak Krakatau yang akan kembali meletus. Kalaupun ada minimal 3 abad lagi atau sesudah 2325 M. Namun yang jelas, angka korban yang ditimbulkan lebih dahsyat dari letusan sebelumnya. Anak Krakatau saat ini secara umum oleh masyarakat lebih dikenal dengan sebutan “Gunung Krakatau” juga, meskipun sesungguhnya adalah gunung baru yang tumbuh pasca letusan sebelumnya

    6 Fakta Menarik Gunung Krakatau yang Letusannya Pernah Gegerkan Dunia

    1. Letusan Paling Mematikan dalam Sejarah Modern

    Laman Live Science menyebutkan, letusan Gunung Krakatau merupakan letusan paling mematikan dalam sejarah modern. 

    Banyak yang meninggal akibat material ledakan dan tsunami yang mengikuti runtuhnya gunung berapi ke dalam kaldera di bawah permukaan laut.

    Diperkirakan lebih dari 36.000 orang kehilangan nyawa. Letusan juga mempengaruhi iklim dan menyebabkan suhu turun di seluruh dunia. 

    Pada Mei 1883, kapten Elizabeth, kapal perang Jerman, melaporkan sudah melihat awan dan abu vulkanik di atas Puncak Krakatau. 

    Ketinggian awan dan abu vulkanik mencapai lebih dari 6 mil (setara 9,6 kilometer).

    Selama dua bulan berikutnya, kapal komersial dan kapal wisata carteran yang sering mengunjungi selat, melaporkan  mendengar suara gemuruh dan adanya awan pijar.

    2. Memicu Tsunami Setinggi 120 Kaki

    Tephra atau pecahan batu vulkanik dan gas vulkanik panas membuat banyak korban khususnya di Jawa Barat dan Sumatra, tapi ribuan lainnya terbunuh akibat tsunami setinggi 129 kaki atau setara 36 meter.

    Tsunami membanjiri pulau-pulau kecil di dekatnya. Penduduk di pesisir di Jawa dan Sumatera melarikan diri ke tempat yang lebih tinggi. Sebanyak 165 desa di pesisir hancur. 

    Kapal uap Berouw ikut tersapu hampir satu mil ke daratan di Sumatera, dan semua awaknya yang berjumlah 28 orang tewas.

    Namun terdapat kapal lain, Kapal Loudon, telah berhasil melewati tsunami. 

    Kapten kapal, Lindemann, mampu membalik haluannya untuk menghadapi ombak raksasa, dan kapal dapat menaiki puncak ombak. 

    Ketika melihat ke belakang, para kru dan penumpang melihat tidak ada yang tersisa dari kota tempat mereka berlabuh sebelumnya.

     

    3. Membuat Langit Gelap hingga 442 Kilometer

    Ledakan Gunung Krakatau melontarkan sekitar 11 mil kubik (setara 45 kubik kilometer) puing ke atmosfer, langit yang gelap hingga 275 mil (atau 442 kilometer) dari pusat ledakan. 

    Di sekitarnya, matahari tidak terlihat selama tiga hari lantaran langit gelap.

    Letusan Gunung Krakatau juga menyebabkan suhu global rata-rata 1,2 derajat lebih dingin untuk lima tahun ke depan setelah letusan.

     

    4. Munculnya Gunung Anak Krakatau

    Gunung Anak Krakatau mulai tumbuh pada 20 Januari 1930, hasil dari letusan Gunung Krakatau. 

    Menurut laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) komplek Krakatau terdiri dari empat pulau, Rakata, Sertung, Panjang dan Anak Krakatau. Ketiga pulau pertama adalah sisa pembentukan kaldera.

    Sementara Anak Krakatau muncul akibat erupsi kompilasi pada 11 Juni 1927 dengan komposisi magma basa di pusat komplek Krakatau. 

    Lahir akibat letusan-letusan, Anak Krakatau tumbuh semakin besar dan tinggi.

    Sejak lahir hingga tahun 2000, Anak Krakatau telah mengalami erupsi lebih dari 100 kali, baik secara eksplisit maupun efusif. 

    Dari beberapa letusan tersebut, umumnya titik letusan selalu berpindah-pindah di sekitar tubuh kerucutnya.

    Waktu istirahat tersedia antara 1 hingga 8 tahun dan 4 tahun sekali mengalami letusan abu dan leleran lava.

    5. Letusan Krakatau Diketahui dari Geolog Belanda

    Verbeek adalah seorang ahli geologi Belanda yang tinggal di Jawa yang telah melakukan penelitian geologi di sekitar kawasan Gunung Krakatau pada tahun-tahun sebelum letusan dahsyatnya.

    Setelah letusan pada 1883, ia melakukan perjalanan ke daerah yang terkena dampak.

    Ia mengumpulkan laporan saksi mata dan secara pribadi mengamati kehancuran yang ditimbulkan oleh gunung berapi tersebut. 

    Laporan setebal 550 halamannya diterbitkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1885. 

    Data dan penelitian di dalamnya juga membantu mencetuskan dimulainya vulkanologi modern.

    6. Tahun 1883 Bukanlah Letusan Pertama

    Mengutip dari laman History Hit, Krakatau sempat tidak aktif selama lebih dari 200 tahun ketika meletus pada 1883. 

    Namun catatan sebelumnya menunjukkan gunung tersebut telah dikenal sebagai ‘Gunung Api’ oleh masyarakat Jawa selama berabad-abad.

    Beberapa hipotesis menyebutkan gunung Krakatau meletus secara dahsyat pada abad ke-6, sehingga menyebabkan perubahan iklim global. 

    Pada 1680, para pelaut Belanda melaporkan melihat Gunung Krakatau meletus dan mengambil potongan besar batu apung, dan bukti aliran lava sejak saat itu ditemukan pada abad ke-19.